Pulau Mandalika dan Sayyid Ustman Mandalika

Table of Contents
Pulau Mandalika dan Sayyid Ustman Mandalika
Pulau Mandalika dan Sayyid Ustman Mandalika

Pulau Mandalika (Mandalique, nama pulau itu ditulis pada abad ke-18) adalah sebuah pulau kecil yang letaknya cukup tinggi sehingga dapat dilihat dari bibir pantai. Pada masa kolonial, pulau ini dipengaruhi oleh  angin muson timur, dimana angin dan arus laut berlawanan arah, dan menjadi tempat persinggahan kapal-kapal yang berlayar dari satu tempat ke tempat lain. 

Pulau ini dulunya dikelola oleh Belanda, dan terdapat sebuah mercusuar yang dibangun pada tahun 1897 untuk alasan keamanan maritim, bersama dengan empat bangunan untuk mendukung pengoperasiannya.

Di balik keheningan pulau ini ada sebuah Makam seorang Tokoh yang menjadi karakter yang tergambar pada ``boneka/golekan'' di atas ``Jembul Krajan'' di desa Tulakan. Dialah Sayyid Ustman, orang yang menyebarkan agama Islam ke sebagian wilayah Donorojo dan sekitarnya.  Salah satu orang yang mendampingi Mbah Nyai Ratu Kalinyamat dalam bertapa.


Asal Usul Sayyid Ustman

Sayyid Ustman atau Haji Ustman adalah putra  Raja Pandita (Sayyid Rojo Pandito).  Raja Pandita adalah putra  Sayyid Ibrahim Asmarakandi.  Sayyid Ibrahim Asmarakandi memiliki tiga orang putra: Sayyid Raja Pandita, Raden Rahmat/Sayyid Ali Rahmatullah/Sunan Ampel, dan Siti Zaenab.

Seiring Sayyid Ibrahim Asmarakandi berpindah tempat tinggal, Sunan Ampel melanjutkan pesantren milik ayahnya, seperti beberapa Da'ai di nusantara yang melakukan perjalanan menyebarkan Islam. Pesantren disebut dengan ampeldenteo.

Santrinya tidak hanya berasal dari Pulau Jawa, namun juga dari luar Pulau Jawa. Keponakan Sunan Ampel, Sayyid Ustman dan adiknya Ustman Haji, juga sudah menunggu di sini. Raden Fatah, putra Raja Majapahit Kertawijaya (Brawijaya V).

Sekembalinya Raden Fattah menerima wilayah Kerajaan Demak Bintoro.  Selain itu Raden Pata juga mendirikan pesantren di sana yang dipimpin oleh Sayyid Ustman.  Sedangkan Ustman Haji diangkat sebagai atase memimpin prajurit Kerajaan Demak Bintoro. Setelah itu, Utman Haji menyandang gelar Sunan ngudung.


Raden Fattah beberapa kali tidak menghadiri "Pisowanan" Kerajaan Majapahit karena kesibukannya mengurus kadipaten dan pesantren. Hal ini menjadi bahan fitnah dari berbagai pihak, hingga akhirnya Raja Kertawijaya terhasut untuk menyerang Kadipaten Demak Bintoro, mengerahkan pasukan dalam jumlah besar dan meninggalkan Majapahit dengan hanya tersisa beberapa prajurit saja.

Kadipaten lain yang menjadi jajahan majapahit mengethui hal ini dan akhirnya menyerang kerajaan tersebut.  Majapahit runtuh, karena terbengkalainya kondisi kerajaan. Serangan tentara Majapahit  ke Demak Bintoro pun gagal.


Akhirnya  kadipaten Demak berubah menjadi Kesultanan Demak Bintoro.  Dengan pengangkatan Raden Patah oleh Raden Paku dan persetujuan para wali  yang hadir, maka Raden Patah diangkat menjadi pemimpin kerajaan Demak Bintoro dan bersumpah setia kepadanya. Sayyid Ustman dan Ustman Haji masih bersama Raden Patah Kesultanan Demak.


Sayid Ustman Babat  Desa Alas Tulakan

Sampai masa pemerintahan Sultan Trengono, Sayyid Ustman diangkat menjadi penasehat Pangeran Retno Kencono dengan gelar Ratu Kalinyamat (menurut sejarah, kerajaan Jepara dulunya terletak di Kalinyamatan masa kini), hingga Ratu Kalinyamat menuntut keadilan kepada Allah SWT atas meninggalnya kakak tercintanya dan suaminya di tangan Arya Penangsang.

Berakhirnya tapa Ratu Kalimat yaitu setelah Arya Penangsang terbunuh. Ia meninggalkan tempat pertapaan di Lembah Siti Wangi, Dusun Sonder, Desa Tulakan, Donorojo.  Dua orang  prajurit, satu dayang, dan satu penasihat kerajaan dari Wiramangala tidak  kembali ke Kerajaan Jepara. Keempatnya adalah Ki Suta Mangunjaya, Ki Leseh, Endang Kinasi, dan Sayyid Ustman.

Selain usianya yang sudah lanjut, Ratu Kalinyamat juga menugaskan untuk bisa “Babat Alas” dan mengembangkan perkampun baru serta memberikan penghidupan yang lebih baik bagi warga yang ada. Sedangkan Sayyid Ustman sendiri bertugas mengembangkan  Islam dan membimbing masyarakat yang ada.

Pertama, Sayyid Ustman membangun "langgar" kecil di dekat bekas pertapaan Ratu Kalinyamat. Seiring berlalunya hari dan jumlah siswa bertambah, ia memindahkan mereka ke tempat lain yang lebih besar dan membangun 'langgar' baru dengan ukuran  lebih besar.  Langgar kecil yang  sudah tidak digunakan lagi itu akhirnya roboh dan material bangunan berserakan.  Langgar itu kemudian dikenal sebagai "Masjid Bubar".


Wafatnya Haji Ustman Mandalika

Karena merasa sudah cukup dengan murid-muridnya, ia pun pindah ke tempat lain. Ia tinggal di pinggir pantai di sebuah dusun yang rindang dan ditumbuhi beberapa pohon Manyura (pohon beringin) yang rindang.

Oleh karena itu, ia dikenal dengan sebutan 'Sunan Manyuran'. Tempat tinggal Sunan Manyuran ini dikenal dengan nama Pantai Bayuran.

Sayyid Ustaman terus berdakwah di daerah tersebut itu sampai akhir hayatnya. Ketika ia jatuh sakit, ia meninggalkan wasiat kepada murid-muridnya agar ia dimakamkan di pulau seberang. Itulah Pulau Mandalika.

Sayid Ustman dimakamkan di Pulau Mandalika, sehingga ia dikenal juga dengan sebutan 'Sunan Manyuran' atau 'Haji Ustman Mandalika Jepara' dalam sejarah wali.


Penutup

Pulau Mandalika merupakan salah satu pulau yang tersisa. Meski tempat ini sakral, Pulau Mandalika tetap asri dan lestari. Pulau Mandalika terletak di Desa Banyumanis Kecamatan Donorojo Kabupaten Jepara.

Di mana-mana di sepanjang pantai pulau ini terdapat keindahan yang eksotik. Ada benerapa tur yang bisa di kunjungi, diantaranya ke Benteng Portugis, Gua Putri Mandalika, dan Gua Manik di mana masyarakat dapat bersantai dan memanjakan mata dengan panorama pantainya.

Admin salafudin.my.id
Admin salafudin.my.id Belajar itu kewajiban, bahkan sejak turun dari kandungan sampai beruban

Posting Komentar

Advertisement
IMG IMG IMG IMG IMG IMG